Suramadunews.com, SURABAYA – Jurnalis Najwa Shihab melakukan wawancara pada kursi kosong yang ditujukan terhadap Menteri Kesehatan RI, Terawan Agus Putranto, akhir-akhir ini. Kemudian video wawancara tersebut diunggah di akun Instagram dan Youtube-nya.
Video itu mendapat reaksi pro dan kontra dari masyarakat. Sebab wawancara model seperti ini baru pertama kali di negeri ini. Wawancara kursi kosong yang dilakukan Najwa Shihab rupanya mendapat tanggapan pengamat dan praktisi jurnalistik dari Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR), Yayan Sakti Suryandaru.
Dia menyebutkan dari perspektif jurnalistik wawancara dengan narasumber ghaib itu melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Dimama setiap wawancara harus dapat izin langsung dari pihak yang diwawancara.
“Wawancara model itu seperti menghidupkan barang mati atau wawancara imajiner. Kalau Menteri Terawan memang tidak bisa datang ya bilang saja. Jangan menggantikannya dengan kursi kosong, kecuali pihak yang bersangkutan sudah memberikan izin,” terang Yayan, Senin (12/10/2020).
Menurut Yayan, dalam wawancara harus disebutkan identitas narasumber dengan jelas. Begitu ketika kehadirannya diganti kursi kosong. Jurnalis harus menyebutkan alasan digantinya narasumber dengan kursi kosong sesuai izin yang telah disepakati.
“Walaupun Mata Najwa sendiri termasuk dalam program Talkshow, namun Talkshow memiliki aturan di mana harus memiliki identitas narasumber yang jelas,” paparnya.
Ditanya mengenai adanya laporan ke Polda Metro Jaya atas beredarnya video tersebut oleh salah satu relawan Jokowi Bersatu, ia menyebutkan pelaporan itu salah sasaran. Sebab setiap permasalahan berkaitan dengan dunia pers harus diselesaikan opeh Dewan Pers. Ini sesuai dengan UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
“Semua masalah tentang dunia pers yang bertanggung jawab untuk menangani adalah Dewan Pers,” ucap dosen mata kuliah Jurnalisme Media Cetak ini.
Disinggung dalam dasar pelaporan itu terkait pasal UU ITE tentang cyber-bullying, Yayan menyatakan jika video tersebut ditayangkan di televisi, maka yang seharusnya menangani Komisi Penyiaran Televisi.
Tetapi jika video itu ditayangkan di akun Instagram dan Youtube yang merupakan salah satu media sosial, maka tuntutan atas pasal UU ITE bisa dilaporkan.
“Tetapi balik lagi, tergantung bagaimana pihak berwajib membaca dan menelaah kasus ini, apakah pelaporan itu bisa diproses atau tidak,” tukas Yayan. (Lam)