Suramadunews.com, Bangkalan – star syndrome atau sindrom bintang yang biasa didera oleh para guest star di dunia hiburan sangat lumrah dialami oleh seorang superstar.
Menjadi terkenal dan dielu-elukan banyak orang terkadang menjadi syndrome sendiri. Para penggemar fanatik terkadang meniru cara berpakaian sang bintang, bahkan gaya hidup sang superstar. Kalau di dunia musik mereka biasa disebut grupiest.
Hendra Gemma, salah satu musisi Bangkalan mengungkapkan pandangannya terhadap “star syndrome” ini kepada suramdunews.com.
“Syndrome menjadi bintang ini seperti pisau bermata dua. Satu sisi positif, satu sisi bisa berakibat negatif bahkan fatal,” ujarnya memulai pembicaraan.
Seorang musisi atau artist untuk menjadi terkenal ini kan melalui beberapa fase yang harua dilewati. “Baik melalui kekaryaan dan upaya kerja keras. Atau bahkan dilewati dengan cara kontroversial,” ungkapnya. Namun apapun itu, menjadi terkenal ini sangat dinikmati artist.
Namun, lanjutnya, jika seorang artist ini tidak memiliki mental atau landasan yang kuat, bisa jadi ke-terkenalan-nya berakibat pada pergeseran perilaku dan mindset seseorang. “Banyak musisi atau artist kelas dunia sekalipun yang tidak siap menerima syndrome ini dan terjebak pada sebuah perilaku menyimpang,” ulasnya.
Curt Cobain (Nirvana), Whitney Houston, Michael Jackson, Jhon Lennon (Beatles), Lady Diana, merupakan contoh-contoh musisi dan orang terkenal yang harus berakhir tragis. “Saya nggak tahu apa yang ada dalam pikiran mereka sehingga keterkenalan ini menjadi trigger sebuah perilaku yang membahayakan hidup mereka,” tanya Hendra.
Untuk menjadi terkenal dan diperhatikan dunia ternyata tidak mudah. “Fans dan publik pada umumnya menuntut para superstar ini untuk tampil sempurna di muka publik,” lanjutnya. Terkadang mereka harus tidak menjadi diri sendiri untum memuaskan kebutuhan para penggemar. “Tuntutan inilah terkadang yang membuat mereka (superstar red.) terjebak dalam pusaran kepura-puraan,” jelasnya.
Mengkonsumsi narkoba dan obat-obatan berbahaya lainnya menjadi salah satu solusi mereka untuk pengalihan tekanan mental. “Akibatnya justru fatal. Saat mereka larut dalam dunia itu, justru hidup semakin tidak terkontrol,” urainya. Banyak yang kemudian mengakhiri hidup mereka, dibunuh fans fanatik, tragis di kecelakaan maut atau tewas overdosis.
Sedangkan untuk para star yang tidak mengindahkan star syndrome ini justru lebih bangak di-bully di medsos (media sosial) karena ekspektasi publik berharap lebih ke para bintangnya. “Mereka, para artist dan musisi yang apa adanya, justru lebih sering mendapatkan sorotan publik,” ujarnya. Karena memang saat menjadi terkenal (famous), seseorang juga akan semakin terbatasi privasinya.
Jadi, menurutnya, bergantung pilihan seseorang untuk menyikapi sebuah ketenaran. “Mental yang kuat menjadi salah satu obat dari syndrome ini. Disamping dukungan keluarga dan lingkungan kerja,” pungkasnya. (dit)